Sabtu, 17 Agustus 2013


CINTA TULUS SANG KERIPUT


Sebuah peran penting di punggung sang Keriput, tergambar jelas di sebuah kota kecil terpuruk dan tertindas akan kesombongan para setan berdasi.

Niatan suci nan mulia terpampang jelas di sebuah tetesan keringat sang Keriput, demi meraup segumpal nasi demi penghidupan isi sebuah gubuk.

Matahari seakan enggan memunculkan diri, cuaca dingin menusuk daging tipis dan keriput, memikul beban jualan tak mengeluh sedikitpun.

Menampakan wajah yang ceria penuh dengan senyuman pengharapan akan mendapatkan rezeki dengan hasil keringat dan kerja keras, menghampiri sudut kota yang kotor tak diperhatikan.
Menunggu sejumblah orang yang berkunjung untuk membeli walau kadang tak satupun yang menghiraukan, atau merasa ibah dengannya.

Berbalik arah dengan sang penunggu hasil di dalam gubuk lapuk,
terdengar suara tawa bahagia,berpesta pora hanya menunggu hasil yang di bawah.

Kekejamanpun terlihat sudah, ketika langkah kaki sang keriput menghampiri dan semakin mendekat untuk masuk merebahkan badan yang letih tak bertenaga.

Teriakan kekesalan dari penunggu hasil keringat terdengar dengan suara kasar seakan menampar dunia dan isinya, karna tak ada sebungkus nasi yang di bawah untuk mengisi perut sang biadab.

BIADAB dan DURHAKA, adalah kata yang tepat untuk mereka yang malas hanya dengan menunggu hasil dari jerih payah sang keriput.

Dimanakah hati nuranimu ?
Dimana syukurmu ?
Dimana tenagamu ?
Wahai anak-anak yang biadab dan durhaka kepada Ayah dan Ibu.
Tagisan mereka, di tunjukan dengan senyuman dan semangat untuk menghibur hati anaknya, Doa yang tulus selalu terucap akan keberhasilan anaknya, namun hanya di balas dengan makian,cacian,teriakan di dalam gubuk lapuk.

Sungguh Biadablah dirimu wahai penghuni NERAKA.

suatu ketika waktu berkata seorang AYAH dan IBU yang dulunya ada, memberikan kasih sayangnya, dan sepenuh cintanya kepada kita, Pergi selamanya Meninggalkan kita, apakah kita masih seperti sedia kala dimana mereka masih mendengar keluh kesah kita ?

TIDAK ! itulah jawabannya wahai Anak Biadab.
Penyesalan tidaklah merubah semuanya menjadi sempurna,
Tangisan tak akan bisa mengembalikan suara mereka.

Apa kita masih merasa bangga ?
atau kita lebih merasa bahagia karna tak ada lagi suara batuk kedua orang yang keriput, terbungkuk-bungkuk, yang selalu mengganggu kita ?

Subahanallah,. 
Sesungguhnya Azab Allah sangatlah Perih wahai anak yang biadab.

Jika masih ada celah di dalm hatimu, jika masih ada rasa cintamu kepada Ayah dan Ibu, maka Sayangilah keduanya, cintailah keduanya, jadikan mereka bangga akan kehadiranmu di dalam dunia yang sementara.
Doakan mereka, peluklah mereka, sesungguhnya mereka adalah orang yang terhebat di dalam dunia ini.

Semoga kita menjadi Anak yang mendapat ridho kedua orang tua dan Tuhan yang maha Besar ALLAH SWT. 

Amin.

Rabu, 14 Agustus 2013


PERADABAN DI LINGKARAN KEBIADABAN


Suatu permulaan lahir dari kelompok manusia yang berpijak di tanah bekas penjajahan.
Peranan  serta perilaku yang membobol kehormatan Negara lewat sumpah dan janji ilusi,  menikam peradaban hakiki yang di bentuk dari gugusan pengorbanan sang pahlawan. Menelusuri setiap celah Keheningan hentakan senjata, demi sepenggal nafas.

Perjalanan waktu menjadikan sejarah semakin meredup dengan kehadiran para pencari kedudukan, cita-cita seakan membeku di dalam keinginan nurani. Tangisan seorang pecinta peradaban baru yang mandiri, seakan sirna di makan rayap tak bersayap, mendulang emas peninggalan prasejarah hanya tertukar dengan setetes keringat dan pujian kenistaan.

Disinilah, di negriku tempatku di lahirkan dari keluarga sederhana.
Tangisan pertama tiupan roh dari sang ilahi, menghiasi senyuman kebahagiaan di dalam gubuk kecil, kotor dan lapuk di dalam Negara yang berlimpah harta.

Ketika itu, tidak ada yang aku kenal, apa sebenarnya dunia ini ? dan apa yang terjadi di tanah kelahiranku ? bahkan aku tidak merasakan kebahagiaan kedua orang tuaku ketika melihatku bernafas menghirup udara segar bekas asap meriam kemerdekaan.
Namun yang aku kenal adalah rasa haus akan setetes air susu sang ibu yang pernah aku rasakan sewaktu berada di dalam rahim.

Waktupun berkata ! Selamat atas kehadiranmu di permukaan dunia hijau yang berasal dari kibaran api, dan akanku bawa engkau berjalan di badanku untuk melihat betapa menyedihkanya Negara ini.
Waktu memaksaku untuk tumbuh dewasa, semakin lama aku mulai mengerti dengan apa yang aku lihat di tanah tempatku berpijak.

Kebiadabanpun dimulai.
Perasaan gundah, takut dan benci mulai tumbuh di dalam raga bagai benalu yang merengut masa depan sebuah pohon. Dikala aku mulai melihat permainan kebiadaban di lakukan oleh para penguasa sementara.

Kemanakah adat istiadat negri ini pergi ?
Ternyata adat istiadat itu di kubur dengan kenistaan yang menghalalkan berbagai cara untuk mengisi kekosongan perut dan isi rumah, bahkan untuk kemaksiatan oleh mereka sang dasi terbalik.

Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah ini akan berakhir ? ternyata tidak sampai disitu, semakin aku di paksa oleh waktu untuk tetap berjalan di permukaan negri ini, semakin itu pula aku merasa otak ini akan segera pecah dan kedua mata ini seakan harus di lepaskan dari raga ini. Namun itu tuntutan waktu agar aku bisa melihat, dan merasakan setiap celah dan gerak gerik kebiadaban yang di lakukan oleh mereka yang berambisi bisa memeluk dunia ini.

Kebiadabanpun di lanjutkan dengan pembodohan dan janji-janji ilusi yang keluar dari mulut yang menjanjikan sepiring nasi basi untuk bisa bertahta dan berkuasa.
Semakin lama semakin aku memahami betapa mengerikan zaman ini, dibandingkan dengan zaman sebelumnya.

Otak ini merekam dengan jelas perlakuan tak berprikemanusiaan, setiap sudut terdengar jeritan orang-orang yang kelaparan, kedinginan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak bahkan hidup hanya untuk menunggu mati tanpa merasakan kebahagiaan.
Seorang wanita rela menjual kehormatannya demi sesuap nasi untuk dirinya dan keluarganya, seseorang rela membunuh hanya untuk menerima bayaran, seseorang rela merampok dan mencuri hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
Bahkan seorang ibu rela di katakan Biadab karena membuang, menjual, dan membunuh anak yang susah payah di kandungnya hanya karena tidak mampu menghidupi.

Apa yang sebenarnya terjadi ?
dimanakah peradaban yang sesungguhnya yang nyata itu ?

Tidak ada satupun manusia yang mampu menjawabnya, hanya suara ejekan, hinaan, tudingan, cacian yang selalu terdengar.

Apakah hanya aku yang Benci melihatnya ?
Apakah hanya aku yang menagis merasakannya ? ataukah ada orang lain yang sama sepertiku ?
Jikalau kalian ada, aku berharap kita bisa mengembalikan harga diri Negara di tengah-tengah peradaban, dan mengembalikan hak yang di rampas paksa oleh mereka sang penguasa sementara.

Dunia dan isinya yang di titipkan sang Maha Kuasa, kitalah yang menjaganya,dan merawatnya. Dikala mata tertutup selamanya, nafas berhenti mengirup udara dunia, setidaknya sedikit usaha dan kerja keras kita untuk mengembalikan peradaban lewat gerakan dan kicauan kesederhanaan dan keikhlasan untuk menjaga akan perintahNYA.
Semoga Negri ini menjadi negri yang mandiri, penuh dengan kasih sayang dan bermasyarakat yang senatiasa adil,dan berTUHAN.